SEBAGAI DALIL HUKUM FIQH

A.PENGERTIAN IJMA’

Secara etimologi, ijma’ mengandung dua arti, yaitu : al-ittifaq atau kesepakatan dan al-‘azm atau ketetapan.[1]

Adapun pengertian ijma’ dalam istillah teknis hukum atau istilah syar’i terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan itu terletak pada segi siapa yang melakukan kesepakatan itu. Perbedaan rumusan itu dapat diperhatikan dalam beberapa rumusan atau definisi ijma’sebagai berikut. [2]

  1. Al-Ghazali merumuskan ijma’ dengan:

عبارة عن اتفاق أمة محمد خاصة على أمر من الأمور الدينية

“ Kesepakatan umat Muhammad  secara khusus atas suatu urusan agama”.

  1. Al-Hamidi yang juga pengikut Syafi’iyah merumuskan ijma’dalam dua rumusan:

الإجماع عبارة عن اتفاق جملة أهل الحل والعقد من أمة محمد فى عصر عبى حكم واقعة من الواقع

“Ijma’ adalah kesepakatan sejumlah Ahl al-Halli Wawancara al-‘Aqdi (para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Nabi Muhammad  pada suatu masa atas hukum suatu kasus”.

“Kesepakatan para mukallaf dari umat Nabi Muhammad  pada suatu masa atas hukum suatu kasus”.[3]

  1. Definisi yang berbeda secara substansial adalah apa yang dikemukakan oleh ulama’ syi’ah. Mereka tidak menitikberatkan pada kata “semua”. Tetapi cukup pada kelompok atau beberapa orang asalkan kelompok itu mempunyai wewenang dalam menetapkan hukum. Untuk tujuan ini ulama’syi’ah merumuskan definisi ijma’ sebagai berikut:

اتفاق جماعة لإتفاقهم فى اثبات الحكم الشرعي

“Kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan mereka dalam menetapkan hukum syara’”.

Ulama’ syi’ah tidak mengharuskan kesepakatan menyeluruh dan mencukupkan dengan kesepakatan kelompok karena menurut mereka kesepakatan kelompok ini bukan untuk menetapkan hukum tersendiri diluar apa yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Bagi mereka ijma’ itu hanya untuk menemukan adanya Sunnah yaitu ucapan atau perbuatan seseorang yang dianggap ma’shum atau bebas dari dosa yang dalam hal ini menurut mereka adalah Nabi Muhammad  dan Ahl al-bait (keturunan Nabi dari Fatimah serta Hasan dan Husein).

  1. Al-Nazham mengemukakan rumusan lain tentang ijma’:

كل قول قامت حجته

“setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah”.

Maksudnya: “Setiap ucapan atau pendapat yang dapat ditegakkan sebagai hujjah syar’iyah, meskipun ucapan seseorang”.

  1. Rumusan yang lebih mencakup kepada pengertian Ahl-al-Sunnah adalah apa yang dikemukakan Abdul Wahab Khallaf, yang dikutip oleh ulama lainnya yaitu:

اتفاق جميع المجتهدين من المسلمين فى عصر من العصور بعد وفاة الرسول على حكم شرعي فى واقعة من الواقع

“Konsensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus”.

Dari definisi diatas terlihat unsur pokok yang merupakan hakikat dari suatu ijma’ yang sekaligus merupakan ijma’, yaitu:

  1. Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya ijma’ terdapat sejumlah orang yang berkwalitas mujtahid; karena kesepakatan itu tidak berarti bila yang sepakat itu hanya seorang. Bila pada suatu masa tidak ada mujtahid sama sekali atau ada tetapi hanya seorang, maka ijma’ tidak dapat terlaksana secara hukum.
  2. semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang kepada negeri asal, jenis dan golongan mujtahid. Kalau yang mencapai kesepakatan itu hanya sebagian mujtahid, atau mujtahid kelompok tertentu, wilayah tertentu atau bangsa tertentu, maka kesepakatan itu tidak dapat disebut ijma’, karena ijma’ itu hanya tercapai kesepakatan menyeluruh.
  3. kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya sabagai hasil dari usaha ijtihadnya, secara terang-terangan, baik pendapatnya itu dikemukakan dalam bentuk ucapan dengan mengemukakan fatwa tentang hukum kejadian itu; atau dalam bentuk perbuatan dengan memutuskan hukum dalam pengadilan dalam kedudukannya sebagai hakim. Penyampaian pendapat ini mungkin dalam bentuk perorangan yang kemudian ternyata hasilnya sama; atau secara bersama-sama dalam suatu majlis yang sesudah bertukar pikiran ternyata terdapat kesamaan pendapat.

Bila sudah tercapai rukun-rukun diatas yaitu bila telah berkumpul dan bertemu semua mujtahid muslim dari berbagai negeri, bangsa dan golongan  dalam satu masa sesudah wafatnya Rasulullah, dihadapkan kepada mereka suatu kasus yang memerlukan putusan hukum, kemudian setiap mujtahid mengemukakan pendapat secara terang-terangan baik dalam ucapan atau perbuatan, secara bersama-sama atau secara terpisah, ternyata pendapat mereka sama tentang hukumnya, maka hukum yang disepakati itu merupakan hukum syara’ yang wajib diikuti dan mengikat seluruh umat Islam.

B. KEMUNGKINAN TERJADINYA IJMA’

Sebagian ulama, diantaranya al-Nazham dan sebagian pengikut syi’ah, berpendapat bahwa ijma’ menurut ketentuan diatas tidak mungkin terjadi menurut lazimnya karena tidak mungkin merealisasikan rukun ijma’ tersebut secara penuh. Alasannya ialah:[4]

  1. Tidak ada suatu ukuran tertentu untuk mengetahui dan menetapkan seorang telah mencapai tingkat tertentu yang menyebabkan seseorang patut disebut mujtahid, karena secara formal tidak ada lembaga pendidikan yang menghasilkan mujtahid.
  2. Kalaupun ada lembaga pendidikan mujtahid dan ukuran untuk menyatakan seseorang telah mencapai derajat mujtahid serta dapat pula diketahui mujtahid itu diseluruh dunia, namun untuk dapat menghimpun mereka semua mengenai masalah yang memerlukan hukum, secara meyakinkan atau dekat dengan yakin, adalah tidak mungkin karena mereka berada dalam lokasi yang berjauhan, dalam tempat yang terpisah serta berbeda latar belakang sosial dan budaya mereka. Tidak mungkin mengumpulkan secara fisik atau mengumpulkan pendapat mereka secara kolektif atau secara perorangan.
  3. Kalaupun mujtahid yang ada itu dapat dikenal secara perorangan diseluruh dunia ini dan dapat menghimpun pandapat mereka menurut cara yang meyakinkan, namun siapa yang dapat menjamin setiap mujtahid yang telah mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu masalah itu tetap pada pendiriannya  sampai berkumpul pendapat mereka semua, karena syarat melangsungkan ijma’itu ialah bahwa kesepatan itu berlaku dalam suatu masa tertentu ketika terjadi suatu peristiwa yang memerlukan ijma’ tersebut.
  4. Mencapai kebulatan pendapat dikalangan mujtahid secara massal itu adalah sesuatu yang sangat sulit untuk terjadi, sedangkan hakekat ijma’ itu adalah kebulatan pendapat atau kesepakatan.

Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ mungkin dapat terlaksana dan memang telah terjadi dalam kenyataan. Misalnya pengungkapan sahabat Abu Bakar sebagai Khalifah setelah wafatnyaNabi ditetapkan dengan ijma’; demikian pula haramnya lemak babi, berhaknya kke atas seperenam harta warisan cucunya, terhalangnya cucu oleh anak dalam hak mewarisi dan lain-lain hukum furu’ sebagaimana tersebar dalam kitab-kitab fiqh.[5]

Abdul Wahab Khallaf menjelaskan besarnya kemungkinan terjadinya ijma’ terutama dalam masa yang serba maju ini. Bila pelaksanaan ijma’ itu ditangani oleh suatu negara dengan bekerjasama dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam. setiap negara menerapkan standar tertentu mengenai seseorang dapat dinyatakan mencapai derajat mujtahit dan memberikan ijazah mujtahid terhadap semua yang mencapai derajat itu, sehingga dengan demikian semua mujtahid didunia ini dapat diketahui.[6]

Dalam era globalisasi dengan kemajuan teknologi informasi dewasa ini, apa yang dikemukakan Abdul Wahab Khallaf itu sangat mungkin terjadi, karena meskipun mujtahit itu bertebaran di seluruh permukaan bumi tetapi cukup mudah mempertemukan mereka dalam suatu masa tertentu untuk membicarakan masalah hukum; atau setidaknya untuk menghimpun pendapat mereka. Bila pendapat mereka tentang masalah suatu hukum telah terkumpul dan ternyata pendapat mereka itu sama, itulah yang disebut ijma’.

C. KEDUDUKAN IJMA’ SEBAGAI DALIL HUKUM

Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalail hukum sesudah al-Qur’an dan Sunnah.[7] Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ditetapkan hukumnya dalam al-Qu’an maupun Sunnah. Untuk menguatkan pendapatnya ini jumhur ulama’ mengemukakan beberapa ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi. Diantara dalil ayat al-Qur’an adalah sebagai berikut :

ومن يشاقق الرسول بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا

“Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah di kuasainya itu dan kami masukkan ia kedalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’ [4]: 115).

Dalam ayat ini, “jalan orang-orangorang mukmin” diartikan sebagai apa-apa yang telah disepakati untuk dilakukan orang mukmin. Inilah yang disebut ijma’ kaum mukminin. Orang yang tidak mengkuti jalan orang mukmin mendapat ancaman neraka  jahannam. Hal ini berarti larangan mengikuti jalan selain apa yang diikuti kaum mukminim, dan ini berarti disuruh mengikuti ijma’.

وكذلك جعلناكم امة وسطا لتكون شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهداء ….

“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad ) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….”(QS. Al-Baqoroh [2]:143).

Ayat ini mensifati umat Islam dengan “wasath”, yang berarti “adil”. Ayat ini memandang umat Islam itu sedbagai adil dan dijadikan hujjah yang mengikat terhadap manusia yang menerima pendapat mereka sebagaimana ucapan Rasul menjadi hujjah terhadap kita untuk menerima semua ucapan yang ditujukan kepada kita. Ijma’ berkedudukan sebagai hujjah tidak lain artinya kecuali bahwa pendapat ini menjadi hujjah terhadap yang lain.

واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai….”. (QS. Ali ‘Imran [3]: 103).

Dalam ayat ini Allah SWT melarang umat berpecah belah. Usaha menantang ijma’ berarti berpecah belah. Hal ini adalah terlarang. Tidak ada arti kedudukan ijma’ sebagai hujjah kecuali larangan untuk menyalahinya.

يآأيها الين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu….”(QS. An-Nisa’ [4]: 59).

Perintah mentaati ulil amri sesudah mentaati Allah dan Rasul berarti perintah untuk mematuhi ijma’, karena ulil amri itu berarti orang-orang yang mengurus kehidupan umat, baik dalam urusan dunia maupun urusan agama, dalam hal ini adalah ulama. Kepatuhan akan ulama adalah bila mereka sepakat tentang suatu hukum. Inilah yang disebut ijma’.

Adapun dalil dari Sunnah, ada hadits Nabi SAW, yang maksudnya bahwa umat Islam tidak akan pernah sepakat dalam kesalahan. Hadits tersebut berbunyi:

أمتى لاتجتمع على الخطا. أمتى لاتجتمع على الضلالة. لم يكن الله بالذي يجمع أمتى على الضلالة. لم يكن الله ليجمع أمتى على الخطا.

“Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Umatku tidak akan sepakat melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan”.

Ulama’ syi’ah tidak mendudukkan ijma’ sebagaimana yang dilakukan oleh ulama Ahl al-Sunnah. Memang ulama syi’ah mengakui adanya ijma’ menurut definisi yang mereka gunakan. Demikian juga ulama syi’ah mengakui ijma’ itu sebagai salah satu dalil syara’, namun dalam arti ijma’ itu menunjukkan jalan untuk mengetahui adanya hukum syara’, ijma’ sama sekali bukan lembaga yang dapat menetapkan hukum syara’ sebagaimana yang dianggap oleh ulama Ahl al-Sunnah.

Ulama syi’ah tidak menganggap ijma’ sebagai dalil yang berdiri sendiri disamping al-Qur’an dan Sunnah. Ijma’ hanya mereka terima dalam kedudukannya menyingkap atau menjelaskan adanya Sunnah dalam arti ucapan atau perbuatan orang-orang yang terpelihara dari kesalahan (ma’shum). Dalam hal ini, menurut ulama syi’ah, kekuatan hujjah dan keterpeliharaan dari kesalahn bukan terletak pada ijma’ itu sendiri tetapi pada Sunnah atau ucapan dan perbuatan yang tidak dikenai kesalahan yang telah berhasil ditemukan dan disingkap oleh ijma’.[8]

Bila ijma’ mempunyai kekuatan (hujjah) dari segi dapat dapat menyingkap ucapan seseorang yang ma’shum,maka tidak perlu adanya kesepakatan semua mujtahid sebagaimana yang didefinisikan oleh ulama Ahl al-Sunnah, tetapi cukup kesepakatan orang-orang yang kesepakatan mereka berhasil menyingkap uacapan orang yang ma’shum.

D. PERKEMBANGAN PENDAPAT ULAMA TENTANG PEMBATASAN IJMA’

Ulama Ahl al-Sunnah yang menempatkan ijma’ sebagai dalil yang berdiri sendiri sesudah al-Qur’an dan Sunnah berbeda pendapat dalam beberapa hal yang menyangkut pembatasan dan persyaratan ijma’. Perbedaan pendapat ini berlaku sehubungan dengan beberapa pembatasan dalam definisi ijma’ itu dan dihubungkan pula kepada hadits Nabi yang menetapkan sebagai suatu yang bebas dari kesalahan atau ma’shum.

  1. Keikutsertaan kalangan awam dalam ijma’

Jumhur ulama berpendapat bahwa mereka itu tidak diperhitungkan untuk melangsungkan suatu ijma’. Artinya, meskipun umat yang awam menolak atau menerima apa yang telah disepakat oleh para ulama mujtahid, maka ijma’ tetap dapat berlangsung, karena yang berhak menentukan hukum dalam ijma’ adalah orang-orang yang mampu memahami sumber fiqh dan mengeluarkan hukumnya. Dan ini hanya mungkin dilakukan oleh ulama mujtahid dan umat yang awam tidak mempunyai kemampuan untuk itu.[9]

Sebagian kecil ulama mengatakan bahwa suara orang awam menetukan dalam penetapan ijma’. Qadhi’ Abu Bakar cenderung ke arah pendapat ini, dan inilah yang dianggap pendapat terpilih oleh Amidi. Alasannya adalah bahwa pendapat umat mempunyai kekuatan hujjah karena ia bebas dari kesalahan sebagaimana dijelaskan oleh dalil-dalil di atas.[10]

  1. Ijma’ sesudah masa shahabat

Kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa ijma’ itu mempunyai kekuatan hujjah berpendapat bahwa ijma’ tidak hanya berlaku pada masa shahabat saja, tetapi pada setiap masa ijma’ itu mempunyai kekuatan hujjah bila memenuhi ketentuannya. Alasan yang dikemukakan mereka adalah bahwa dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan ijma’ tidak keluar dari al-Qur’an, Sunnah dan logika. Setiap dalil itu tidak memisahkan antara penduduk satu masa sebagaimana menjangkau kekuatan hukum atau hujjah.[11]

Daud al-Zhahiri serta pengikutnya dari kelompok Zhahiriyah dan Imam Ahmad dalam salah satu versi periwayatan berbeda pendapat dengan jumhur ulama tersebut. Mereka berpendapat bahwa ijma’ yang mempunyai kekuatan hujjah hanyalah ijma’ pada masa sahabat,karena pada masa itulah memungkinkan terjadinya ijma’secara praktis, sebab waktu itu jumlah mujtahid masih terbatas dan wilayah domisili mereka relatif berdekatan. Hanya dalam masa itulah ijma’ dapat terlaksana menurut syarat-syarat yang telah ditentukan.[12]

  1. Kesepakatan mayoritas

Apakah kesepakatan mayoritas mujtahid yang tidak disetujui sebagian kecil ulama dapat disebut ijma’? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak sah ijma’ bila hanya mayoritas ulama saja yang sepakat sedangkan yang lain (minoritas) menentangnya.

Muhammad  ibn Jarir al-Thabari, Abu Bakar al-Razi, Abu Husein Khayyat dari Mu’tazilah dan Ahmad ibn Hanbal dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa mengikuti mujtahid sudah dapat menghasilkan ijma’, meskipun ada beberapa mujtahid yang menolaknya.[13]

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa kesepakatan mayoritas ulama dapat menjadi hujjah, namun tidak dapat disebut ijma’. Pendapat lain mengatakan bahwa mengikuti pendapat mayoritas adalah tindakan paling baik, meskipun tidak ada halangan untuk menolak pendapat mereka. Al-Amidi mendukung pendapat jumhur ulama, dengan alasan sebagai berikut:[14]

  1. Kekuatan hujjah ijma’ disandarkan kepada sebuah hadits Nabi yang menyatakan terpeliharanya umat dari kesalahan.
  2. Kejadian adanya kesepakatan mayoritas ulama di samping ada pendapat yang berlainan dari itu, adalah hal yang biasa terjadi pada masa shahabat dan tidak seorang pun yang mengingkari kejadian seperti ini. Misalnya kesepakatan kebanyakan shahabat untuk tidak memerangi orang yang menolak membayar zakat, sedangkan Abu Bakar berpendapat lain.

Kelompok ulama yang menyatakan sahnya ijma’ mayoritas meskipun jumlah minoritas menolak, beralasan bahwa kata “umat” dapat digunakan kepada ahli dalam suatu masa, meskipun ada suatu masa, meskipun ada satu atau dua orang yang menyimpang. Satu dua orang dibandingkan dengan semua orang dapat dianggap syadz (ganjil), sedangkan hadits Nabi menyuruh menjauhi yang ganjil itu.

  1. Kesepakatan ulama Madinah

Bila ulama Madinah telah sepakat tentang suatu hukum atas suatu kejadian, sedangkan ulama lain mengemukakan pendapat yang berbeda, dapatkah kesepakatan ulama Madinah itu dianggap ijma’. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

  1. Jumhur ulama berpendapat bahwa kesepatan ulama Madinah saja tidak merupakan kekuatan hujjah terhadap ulama lain yang tidak sependapat dengan itu, karena kesepakatan ulama Madinah itu bukan ijma’.[15]
  2. Ulama Malikiyah mengatakan bahwa kesepakatan ulama Madinah adalah ijma’ dan mempunyai kekuatan hujjah terhadap ulama lain yang menyalahinya. Alasan mereka adalah:[16]

1). Dari segi nash sabda Nabi yang mengatakan bahwa “Madinah itu       suci yang dapat melenyapkan kotoran yang ada padanya sebagaimana bengkel besi melenyapkan karat-karat besi”. Kesalahan adalah termasuk dalam kotoran dan dapat dilenyapkan dari Madinah.

2). Secara logika, Madinah adalah tempat hijrahnya Nabi dari tempat makamnya, temapt turunnya wahyu, tempat kedudukan Islam dan tempat berkumpul para shahabat. Karena itu kebenaran tidak akan menghindar dari para ahlinya.

3). Warga Madinah menyaksikan sendiri ayat-ayat hukum dan merupakan orang yang paling tahu tentang keadaan Rasul dibandingkan dengan warga kota lain. karenanya kebenaran tidak akan lari dari padanya.

4).  Periwayatan ahli Madinah lebih diutamakan dari periwayatan ahli lainnya. Karena itu kesepakatan ulama Madinah menjadi hujjah terhadap orang lain.

  1. Kesepakatan Ahl- al-Bait

Ahl al-Bhait dalam pandangan ulama Syi’ah adalah keturunan Nabi Muhammad  Saw. Melalui putrinya, Fathimah dengan Ali ibn Abi Thalib. Dikalangan ulama Syi’ah berlaku pendapat bahwa kesepakatan Ahl al-Bhait atas suatu hukum dianggap ijma’ yang mempunyai kekuatan hukum terhadap orang lain. pengertian kesepakatan yang mempunyai kekuatan hujjah disini berarti kesepakatan dalam menenukan ucapan orang yang ma’shum sebagaimana dijelaskan di atas.[17]

  1. Kesepakatan Khulafa’al-Rasyidun

Imam Ahmad dalam salah satu periwayatan menyatakan bahwa kesepakatan mereka adalah ijma’ yang mengikat. Karenanya tidak boleh berpegang kepada pendapat yang lainnya. Dalam periwayatan lainnya, beliau meyatakan bahwa kesepakatan mereka bukan ijma’, meskipun dapat dijadikan hujah.[18] Alasan kelompok yang berpendapat bahwa kesepakatan khulafa’ al-Rasyidun itu sebagai ijma’ yang mengandung hujjah adalah sabda Nabi Saw:

عليكم سنتى وسنة الخلفاء الرشدين من بعدى

          Jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan khalifah yang empat itu bukan ijma’ dan tidak dapat dijadikan hujjah menurut apa adanya. Karena mereka berpegang pada dalil umum bahwa yang terpelihara dari kesalahan dan dosa adalah kesepakatan menyeluruh, bukan kesepakatan terbatas. Hadits yang menyuruh mengikuti Sunnah Khulafa’ al-Rasyidun tidak hanya terbatas pada empat orang sahabat saja, karena para sahabat itu di depan Nabi adalah sama derajatnya.[19]

E. PENDAPAT-PENDAPAT ULAMA TETANG PERSYARATAN IJMA’

Selain perbedaan pendapat tentang batasan ijma’, juga ada perbedaan                  pendapat ulama tetang persyaratan ijma’.

  1. Kuantitas anggota ijma’

Para ulama sependapat bahwa ijma’ itu terlaksana karena adanya kesepakatan seluruh ulama mujtahid dan ada perbedaan pendapat diantara mereka. Mereka juga sependapat bahwa yang sepakat itu adalah banyak orang. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai berapa jumlah minimal ulama mujtahid untuk terlaksananya suatu ijma’.

Diantara ulama ada yang menetapkan kehujjahan ijma’ melalui dalil ‘aqli (akal/logika), seperti Imam Haramain dan ulama lain yang sependapat dengannya. Kelompok ini berpendapat bahwa ulama mujtahid untuk terlaksananya ijma’ adalah jumlah ayng mencapai batas mutawattir yang tidak memungkinkan bersengkongkol untuk berdusta atau melakukan kesalahan.[20]

Kelompok lain berpendapat bahwa kehujjahan ijma’ itu harus didasarkan dali naqli (nash). Kelompok ini berbeda pendapat dalam hal persyaratan jumlah mutawattir itu untuk sahnya suatu ijma’. Di antara ulama dari kelompok ini mensyaratkan jumlah yang mencapai tingkat mutawattir itu, sedangkan ulama lainnya tidak mensyaratkannya. Al-Amidi dan ulama Hambali cenderung kepada pendapat ini. Alasannya, karena kekuatan hujjah ijma’ hanya dapat diterapkan dengan dalil naqli, tidak mungkin dengan dalil ‘aqli. Atas dasar ini, maka meskipun jumlah peserta ijma’ itu kurang dari ukuran mutawattir dapat dikategorikan sebagai “umat” dan “orang-orang Mukmin” yang didasarkan dalil naqli seperti dalam hadits di atas.[21]

  1. Berlakunya masa

Telah dijelskan bahwa ijma’ itu berlangsung berdasarkan kesepakatan ulama mujtahid dalam suatu masa tertentu. Apakah suatu ijma’ masih dapat dijadikan hujjah dan mengikat umat Islam untuk mengikutinya jika masa berlangsungnya ijma’ itu telah berlalu dan semua mujtahid yang ikut dalam ijma’ itu sudah meninggal, tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka menarik pendapatnya.

Sebagian ulama menyatakan bahwa setiap ulama mujtahid yang telah mengemukakan pendapatnya dalam ijma’ tidak dibenarkan menarik pendapatnya. Atas ini, maka persoalan apakah perlu ditunggu dulu meninggalnya semua ulama yang hidup pada masa terjadinya ijma’, menajdi tidak relevan. Artinya, tidak perlu dipersyaratkan berlalunya masa untuk sahnya suatu ijma’.[22]

Sebagian ulama lainnya menyatakan dapat saja setiap ulama yang telah mengemukakan pendapatnya dalam ijma’ untuk menarik atau mengubah pendapatnya itu. Kalau demikian, sampai kapan ulama yang telah mengemukakan pendapatnya dalam ijma’ itu dapat dikatakan bahwa dia tidak menarik pendapatnya, sehingga apa yang telah mereka sepakati mempunyai kekuatan sebagai hujjah. Dalam hal inilah para ulama membahas tentang persoalan apakah ada keharusan menunggu sampaipunah (meniggal) semua mujtahid peserta ijma’ sebagai salah satu persyaratan kekuatan suatu ijma’.

  1. Imam Ahmad ibn Hambal, Ustadz Abu Bakar ibn Faruq dan sebagian kecil di antara ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa berlalunya masa atau punahnya peserta ijma’ merupakan syarat untuk kekuatan hujjah suatu ijma’. Alasannya:[23]

Pertama, pernah terjadi pendapat yang menyimpang dari kekuatan hukum yang telah ditetapkan suatu ijma’. Misalnya, umm al-walad (sahaya perempuan yang telah dihamili majikannya) menurut ijma’ disamakan kedudukan hukumnya dengan hamba sahaya biasa, sehingga dapat dijual dan tidak merdeka dengan sendirinya dengan kematian tuannya. Atas dasar dasar pendapat ini Umar ibn Khattab memerdekakan seorang umm al-walad-nya. Setelah Umar wafat, Ali ibn Abi Thalib mengemukakan pendapat yang berbeda. ‘Ali berpendapat bahwa umm al-walad itu berbeda dengan sahaya biasa, ia merdeka dengan sendirinya dengan kematian tuannya. Dengan demikian untuk ekpastian suatu ijma’ harus ditunggu berlalunya masa sehingga wafatnyasemua mujtahid peserta ijma’.

Kedua, seandainya ada dua pendapat yang berbeda dari para sahabat, berarti ada kesepakatan terhadap bolehnya berbeda pendapat, dan kita boleh berpegang kepada salah satu diantara dua pendapat itu. Jika salah satu kelompok dari pasa shahabat itu menarik pendapatnya, maka akan terjadi ijma’. Kalau meninggalnya peserta ijma’ itu tidak dijadikan syarat, tentu tidak dibenarkan untuk mengikuti salah satu dari dua pendapat yang berbeda itu, karena berarti salah satu di antara dua ijma’ itu ada yang salah.

  1. Jumhur ulama’ yang terdiri dari  kebanyakan pengikut Syafi’iyah , Abu Hanifah, ulama’ kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa berlalunya masa dan meninggalnya semua peserta ijma’ bukan syarat untuk kekuatan suatu ijma’. Bahkan bila terjadi kesepakatan ulama’ tentang hukum syara’, meskipun baru satu saat, maka telah berlangsung ijma’. Argumentasi mereka adalah :[24]

pertama,dalil kehujjahan ijma’ itu berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Keduanya tidak mewajibkan berlalunya masa. Kedua,hakikat ijma’ itu adalah kesepakatan.tetapnya kesepakatan itu merupakan pengakuan atas kelangsungan ijma’. Kekuatan hukum terletak pada kesepakatan itu, bukan pada meniggalnya semua peserta ijma’. Ketiga, para tabi’in berhujjah dengan ijma’ pada masa penghujung generasi para sahabat seperti Anas dan lainnya. Seandainya diharuskan berlalunya masa bagi keluarnya ijma’, tentu generasi tabi’in tidak boleh berhujjah  dengan ijma syahabat karena saat itu generasi shahabat masih berlangsung ( ada yang masih hidup). Keempat, mempersyaratkan berlalunya masa bagi kekuatan ijma’ akan menyebabkan tidak terlaksananya ketentuan hasil ijma’ itu secara mutlak, padahal ia merupakan ketentuan yang mengikat. Karena itu, maka persyaratan (berlalunya masa) yang membatalkan ketentuan yang telah disepakati ijma’ menjadi batal dengan sendirinya.

c.Sebagian ulama’ merinci persyaratan berlalunya masa bagi peserta ijma’ itu berdasarkan bentuk ijma’nya. Bila ijma’ itu dalam bentuk ijma’ sharih,maka berlalunya masa dan meninggalnya semua peserta ijma’ itu tidak merupakan persyaratan. Tetapi, bila dalam bentuk ijma’ sukuti, maka berlalunya masa  bagi mujahid yang tidak mengemukakan pendapatnya dan tidak menyangg pendapat yang dikemukakan para mujtahid lainnya, merupakan persyaratan. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh al-Amidi. Alasannya adalah bahwa kekuatan ijma’ itu tedak terletak pada tidak adanya suara yang menyanggah. Untuk memastikan bahwa tidak ada mujtahid yang menyanggah keputusan ijma’ pada saat itu, hanyalah bila seluruh mujtahid tersebut tidak ada lagi dan memang ternyata tidak ada sanggahan.[25]

  1. Sandaran ijma’

Yang dimaksud “sandaran” disini adalah dalil yang kuat dalam bentuk nash al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung maupun tidak. Dalil ini dapat dijadikan rujukan bagi keputusan ijma’. Apakah adanya sandaran itu merupakan syarta bagi kekuatan ijma’. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat:

Pertama,hampirsemuaulama berpendapat bahwa ijma’ itu harus merujuk pada suatu sandaran yang kuat,[26] bukan hanya berdasar taufiq dari Allah SWT. Karena alasannya:[27]

  1. Dalam keadaan tidak ada rujukan atau sandaran, tidak mungkin seseorang akan sampai kepada suatu kebenaran.
  2. Nabi Muhammad  Saw, tidak pernah berkata atau menetapkan hukum kecuali bila sandaran berupa wahyu, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an. Para mujtahid selain Nabi tidak akan dapat lebih baik dari Nabi, karenanya tidak mungkin mereka menetapkan suatu ketentuan hukum tanpa merujuk kepada dalil.
  3. Seandainya para mujtahid itu dapat menetapkan hukum tanpa sandaran berarti masing-masing mujtahid secara perorangan dapat menetapkan hukum tanpa sandaran. Bila masing-masing berbuat demikian, maka tidak ada artinya lagi kesepakatan itu.
  4. Mengemukakan pendapat dalam hal agama tanpa dalil atau petunjuk adalah tindakan yang salah, padahal umat secara keseluruhan tidak mungkin sepakat dalam kesalahan.
  5. Produk hukum syar’i bila tidak disandarkan pada dalil,tidak dapat diketahui hubungannya dengan hukum syara’. Bila keadaannya seperti itu,maka tidak dapat diterima.

Kedua,sebagian kecil ulama tidak mensyartakan adanya sandaran ijma’. Mereka berpendapat bahwa dapat saja ijma’ itu terjadi karena adanya taufiq dari Allah kepada setiap mujtahid yang mengadakan kesepakatan yang menuntun mereka mencapai kebenaran tanpa memerlukan petunjuk dari dalil. Alasannya :[28]

  1. Seandainya kekuatan suatu ijma’ membutuhkan suatu dalil sebagai sandaran, maka sebenarnya kekuatan hujjah terletak pada dalil yang menjadi sandaran itu, bukan pada ijma’ itu sendiri.
  2. Seandainya ijma’ itu memerlukan sandaran, maka tidak akan terlaksana ijma’ tanpa ada sandaran, padahal cukup banyak ijma’ yang tanpa menyandarkan diri kepada dalil manapun. Contohnya, ijma’ ulama tentang pengambilan sewa pemandian umum, penetapan kharaj  dan sebagainya.

Ulama yang mensyaratkan adanya sandaran atau rujukan bagi suatu ijma’ sepakat menjadikan nash al-Qur’an sebagai sandaran ijma’. Namun dalam menetapkan qiyas atau ijtihad sebagai sandaran, mereka berbeda pendapat:

Pertama, jumhur ulama membolehkan qiyas dan ijtihad dijadikan sandaran ijma’ meskipun mereka berbeda pendapat mengenai kemungkinan hal seperti itu terlaksana dalam kenyataan. Alasannya, adalah bahwa qiyas itu sendiri adalah hujjah syar’iyah yang bersandar secara langsung kepada nash, karena qiyas itu sendiri adalah menghubungkan sesuatu kepada hukum yang ada nashnya. Bila ijma’ dilakukan menurut cara ini, maka ijma’tersebut pada hakikatnya adalah ijma’ yang menyandar kepada nash syar’i. Seperti ijma’ tentang haramnya lemak babi yang diqiyaskan kepada dagingnya.[29]

Kedua, sebagian ulama’ diantaranya ulama Syi’ah, Daud al-Zhahiri, Ibn Jarir al-Thabari berpendapat tidak boleh menjadikan qiyas atau ijtihad sebagai sandaran ijma’. Alasannya, bahwa bentuk qiyas itu berbeda-beda, pada dasarnya qiyas itu bukanlah suatu dall yang disepakati, dan tidak pernah dikalangan para sahabat menetapkan hukum secara ijma’ yang tidak disandarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah.[30]

Ketiga, sebagian ulama mengambil jalan tengah diantara kedua pendapat di atas. Menurut mereka bila qiyas itu didasarkan kepada ‘illat yang ditetapkan berdasarkan nash atau ‘illatnya cukup zhahir dan tidak samar hingga tidak memerlukan pembahasan, maka dapat dijadikan sandaran ijma’. Para ulama yang membolehkan qiyas dijadikan sandaran ijma’ itu, sebenarnya yang mereka maksud adalah qiyas dengan’illat yang kuat itu.[31]

F. FUNGSI DAN PERINGKAT IJMA’

1. Fungsi Ijma’

Yang dimaksud fungsi ijma’ disini adalah  kedudukannya dihubungkan dengan dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu, menurut ulama’ ahl al Sunnah, mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan sendirinya. Tetapi dalam pandangan ulama’ Syi’ah, ijma’ itu adalh hanya untuk menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang ma’sum. Dalam hal ini terdapat dua pandangan masing-masing kelompok.

Dalam pandangan ulama’ yang berpendapat bahwa untuk kekuatan suatu ijma’ tidak diperlukan sandaran atau rujukan kepada dalil yang kuat, ijma’ itu berfungsi menetapkan hukum atas dasar taufiq Allah yang telah diberikan kepada mereka yang berijma’. Sehingga kedudukan dan fungsi ijma’ itu bersifat mandiri.[32]

Dalam pandangan ulama’ yang mengharuskan adanya sandaran untuk suatu ijma’, dalam bentuk nash atau qiyas, maka ijma’ itu berfungsi untuk meningkatkan kwalitas dalil yang dijadikan sandaran itu. Melalui ijma’ dalil yang asalnya lemah (zhanni) menjadi dalil yang kuat (Qoth’i), baik dalil itu berbentuk nash atau qiyas. Contohnya ijma’ yang menguatkan dalil Sunnah yang dijadikan sandaran adalah mengenai hak warisan nenek dari harta peninggalan cucunya. Hal ini bermula dari sebuah hadist yang lemah, namun akhirnya menjadi ijma’ yang kuat. Sedangkan ijma’ yang berarti dari qiyas bisa dilihat dalm kasus pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah.[33]

2. Peringkat ijma’

Telah dijelaskan bahwa secara definitif ijma’ adalah kesepakatan ulama’ mujtahid secara umum. Namun jumlah mujtahid itu tidak terbatas dan tempatnya pun terpencar, saling berjauhan, sehingga ada yang berpendapat bahwa mustahil ijma’ itu dapat dilaksanakan, kecuali pada masa sahabat. Meskipun demikian, ijma’ secara apa adanya dapat dan sering terjadi dengan bentuk dan tingkat kwalitas yang berbeda.

Tingkatan kwalitas ijma’ itu adalah sebagai berikut: [34]

  1. Ijma’ Sharih

Yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik melalui ucapan, tulisan atau dalam bentuk perbuatan dan ternyata  seluruh pendapat mereka menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut.

Ijma’ sharih ini sangat langkah terjadi. Jangankan yang dilakukan dalam satu majlis pertemuan, tidak dalam forum pun sulit dilakukan. Karena itu sebagian ulama’ berpendapat bahwa ijma’ sharih hanya terjadi pada masa sahabat saja, karena waktu itu jumlah mujtahid masih terbatas dan lingkungan tempat tinggal mereka relatif berdekatan.

Bila ijma’ sharih ini berlangsung, maka dilalahnya terhadap hukum adalah dalam tingkat Qoth’i dan hukum yang ditetapkannya bersifat Qoth’i, sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan tidak boleh seorangpun pada masa itu untuk menyanggahnya dan mujtahid yang telah mengemukakan pendapatnya tidak boleh mencabut atau mengubah pendapat yang telah dikemukakannya dalam ijma’ itu. Para ulama sepakat menerima ijma’ sharih ini sebagai hujjah syar’iyyah dalam menetapkan hukum syara’.

  1. Ijma’ sukuti

Yaitu kesepakatan ulama’ melalui cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu masalah dalam masa tertentu, kemudian pendapat ini tersebar luas serta diketahui orang banyak; dan ternyata tidak seorang pun diantara mujtahid lain yang mengemukakan pendapat berbeda atau yang menyanggah pendapat itu.

Ijma’ sukuti ini pengaruhnya terhadap hukum  bersifat zhanni, atau merupakan dugaan kuat tentang kebenarannya. Karana itu tidak terhalang bagi mujtahid lain dikemudian hari untuk mengemukakan pendapat berbeda sesudah ijma’ tersebut berlangsung.

Para ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan ijma’ sukuti itu sebagai hujjah syar’iyah yang mempunyai kekuatan mengikat untuk seluruh umat. Di antara mereka adalah Imam Syafi’i dan pengikutnya berpendapat bahwa ijma’ sukuti itu bukan ijma’ yang di pandang sebagai sumber hukum dan dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Imam Ahmad, kebanyakan ulama’ Hanafiah, sebagian ulama Syafi’iyah dan Al-Jubbai (ulama Mu’tazilah) berpendapat bahwa ijma’ sukuti adalah ijma’ yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagai hujjah. Sebagian ulama, yang lain diantaranya Abu Hasyim  berpendapat bahwa ijma’ sukuti itu bukan ijma’. Tetapi meskipun demikian ia dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.

Argumentasi yang diajukan oleh kelompok ulama’ yang menyatakan ijma’ sukuti itu bukan ijma’ dan tidak mempunyai kekuatan hukum adalah : (1) kepada orang yang diam tidak dianggap ia berbicara dan mempunyai pendapat. Karenanya tidak dapat dibebankan kepadanya pendapat yang ia sendiri tidak mengatakannya. (2) Tidak sah memperlakukan sikap diam seseorang sebagai menyetujui, karana diamnya seseorang itu mungkin karena setuju; karena belum mengetahui ijtihad untuk memberikan persetujuan ; karena tidak setuju; juga mungkin karena tidak suka dan beberapa kemungkinan lainnya.

Sedangkan kelompok ulama yang menganggap ijma’ sukuti itu adalah ijma’ dan mempunyai kekuatan hukum, menganggapnya kekuatan ijma’ sukuti itu lebih rendah dibandingkan dengan ijma’ sharih dan harus didasarkan kepada suatu syarat bahwa mujtahid yang mengemukakan pendapatnya telah menyebarluaskan pendapatnya itu secara luas kepada mujtahid lain untuk menanggapinya dalam tenggang waktu yang cukup lama agar berkesempatan melakukan ijtihad dan menyusun pendapat, namun mereka tidak mengemukakan pendapat dan tidak ada satu hal pun yang menghalangi untuk berpendapat. Argumentasinya adalah : (1) Memang sikap diam itu tidak dipandang sebagai hujjah, namun sikap diam sesudah diberi kesempatan untuk befikir dan mengemukakan pendapat, mengandung arti tidak menulak pendapat orang yang di diamkannya (ditanggapi dengan sikap diam) itu. (2) Adalah suatu tindakan yang terlarang bagi mujtahid mendiamkan sesuatu yang ia tidak setuju jika pendapat ini dipandangnya salah. (3) Setiap mujtahid yang berbicara melontarkan pendapatnya dalam menghadapi kasus hukum, sangat jarang terjadi. Biasanya yang terjadi adalah sebagian mujtahid mengemukakan pendapatnya dan sebagian yang lain menerumanya secara diam-diam.

Kelompok ulama’ yang menganggap ijma’ sukuti itu mengandung hujjah tetapi bukan sebagai ijma’ beralasan bahwa ijma’ sukuti itu tidak memenuhi syarat untuk dikatakan ijma’, namun dapat dijadikan hujjah karena sikap diam itu lebih berat kepada menyetujui ketimbang membantah.

Di samping pembagian ijma’ kepada dua tingkatan tersebut, ada ulama’ yang membagi peringkat ijma’ itu dari segi penerimaan ulama ijma’ tersubut, yaitu : [35]

  1. Ijma’ kaum muslimin; yaitu ijma’ menyeluruh dan merata dilakukan oleh semua orang islam yang termasuk di dalamnya para ulama dan orang awam. Ijma’ seperti ini ditempatkan pada tempat yang tinggi, meskipun keberadaannya sangat langkah. Umpamanya kesepakatan tentang wajibnya zakat, puasa, haji, atau haramnya zina, mabuk-mabukan serta hal-hal yang lain yang menyangkut masalah pokok dalam agama.
  2. Ijma’ para sahabat; ijma’ ini dapat diterima semua pihak, karena kemungkinan besar terjadinya, sebab jumlah ulama waktu itu masih terbatas, lingkungan tempat tinggalnya relatif berdekatan, dan masalah yang dihadapinya pun belum begitu banyak, dan keberadaan isinya cukup tinggi mengingat masa terjadinya dekat kepada Nabi.
  3. Ijma’ ahl Al-ilm dalam segala masa;  pengertian ijma’ yang berlaku secara umum adalah ijma’ dalam bentuk ini, karena pembahasan mengenai ijma’ itu menyangkut penggunaan ra’yu. Karenanya, maka suara (pendapat) yang diperhitungkan dalam ijma’ itu hanyalah orang yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad.

G. NASAKH DAN KETETAPAN IJMA’

1. Nasakh ijma’

Yang dimaksud nasakh ijma’ di sini adalah munculnya ijma’ ulama yang menyatakan bahwa keputusan ijma’ sebelumnya tidak berlalu lagi, atau muncul pendapat ulama secara perorangan, atau muncul ijma’ atas suatu hukum yang berbeda dengan apa yang sebelumnya disepakati ulama terdahulu.[36]

Memang pada dasarnya nasakh (pembatalan) itu tidak berlaku kecuali dalam hukum-hukum yang ditetapkan dalam nash, baik Al-Qur’an maupun Hadits, karena nasakh itu hanya berlaku semasa Nabi masih hidup dan tidak berlaku sesudahnya. Karena tidak mungkin terjadi nasakh dalam hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan ra’yu, meskipun ra’yu yang merujuk kepada nash.

Pembicaraan tentang nasakh ijma’itu bukanlah dalam arti sebenarnya sebagaimana disebutkan di atas, tetapi berupa kemungkinan munculnya hasil ijma’ yang menasakh atau mengakhiri berlakunya hasil ijma’ yang lalu. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.

  1. Jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh tidak berlaku dalam ijma’. Artinya, apa yang telah ditetapkan dalam ijma’ tidak mungkin dibatalkan atau dinasakh, baik dalam nash, dengan ijma’ lagi atau dengan qiyas. Alasannya ialah bahwa yang akan menasakhkannya tentu nasg, ijma’ atau qiyas. Namun menasakh ijma’ dengan salah satu diantaranya tidaklah mungkin. Tidak mungkin ijma’ dinasakhkan dengan nash al-Qur’an maupu Sunnah karena keberadaan keduanya hanya mungkin terjadi pada waktu Nabi masih hidup, sedangakan ijma’ baru terjadi setelah Nabi wafat. Seandainya nash yang akan menasakh ijma’ itu telah ada sebelum adanya ijma’, maka berarti ijma’ itu menyalahi nash yang telah ada. Tidak mungkin pula antara ijma’ dengan ijma’, karena seandainya ijma’ yang pertama bersifat qath’I maka ijma’ kedua  itu  salah. Bila ijma’ pertama itu zdanni sedangkan yang kedua itu qath’I, maka tentu tidak terjadi pertentangan antara keduanya, karena berbeda kekuatannya. Demikian juga dengan ijma’ yang dinasakh dengan qiyas, karena qiyash itu sendiri harus ada dengan asalnya, baik berupa dalil yang ada sesudah ijma’ pertama maupun mendahuluinya. Keduanya tidak mungkin terjadi. Jadi ijma’ tidak mungkin dinasakh dengan dalil manapun.[37]
  2. Sebagian kecil ulama diantaranya ulama Mu’tazilah dan Fakhrur Razi berpendapat bahwa ijma’ dapat dinasakh dengan ijma’, karena tidak ada halangan bagi ijma’ itu untuk dinasakh. Alasanya, sebab diantara sandaran ijma’ yang pertama itu adalah qiyas yang ‘illatnya adalah sifat yang dilihat oleh ulama yang mencetuskan ijma’ yang pertama itu sebagai maslahat, tetapi kemudian maslahat itu berubah pada masa berikutnya dan pada masa itu para ulama menggunakan qiyas yang merujuk kepada sifat yang lain (berbeda). Keadaan yang telah berubah itu menghendaki hukum yang berbeda dengan ijma’ yang pertama.[38]

2. Ketetapan Ijma’

Bila telah berlangsung suatu ijma’ maka ia mempunyai kekuatan hukum atau hujjah untuk umat pada masa berlakunya ijma’ itu dan untuk umat sesudahnya. Tentang bagaimana caranya hukum muslimin mengetahui bahwa ijma’ tentang suatu hukum telah berlaku dan mengikat untuk mereka, adalah melalui periwayatan dari satu orang kepada orang lain dan dari satu generasi ke generasi berikutnya (melalui khabar atau periwayatan).

Ijma’ adalah dalil hukum yang bersifat qath’I atau meyakinkan kebenarannya. Karena itu penukilan dan penyebarluasannya pun haruslah dengan cara meyakinkan pula, yaitu melalui khabar mutawattir, supaya sifat qath’I pada asal hukumnya dapat diimbangi dengan qath’I dalam segi materi hukum dan periwayatannya.[39]

Tentang penukilan ijma’ melalui khabar ahad, terdapat perbedaan ulama. Sebagian ulama Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hambali berpendapat bolehnya menukilkan ijma’ dengan khabar ahad. Kedua kelompok ulama yang berbeda pendapat ini sepakat menyatakan bahwa ijma’ yang dinukilkan melalui khabar ahad, kekuatannya bersifat zhanni, meskipun itu bersifat qath’I dari segi materi hukumnya.[40]

Kelompok yang membolehkan penukilan ijma’ melalui khabar ahad menggunakan alasan dengan nash dan qiyas. Alasan nashnya adalah hadits Nabi :

نحن نحكم بالظواهر والله يتلى السرائر

“Kami menetapkan hukum berdasarkan yang lahir, sedangkan Allah menyukai yang tersembunyi”.

Adapun dalil qiyas yang mereka kemukakan adalah bahwa khabar ahad tentang adanya ijma’ menimbulkan zhann (dugaan kuat). Karenanya mengandung hujjah sebagaimana khabar ahad yang berasal dari Nabi yang diakui kehujjahannya.

Kelompok ulama yang menolak penetapan ijma’ melalui khabar ahad beralasan bahwa ijma’ yang dinukilkan berdasarkan lisan yang ahad merupakan salah satu sumber fiqh seperti qiyas atau khabar ahad Rasul. Tidak ada ijma; qath’I yang menunjukkan kebolehan berhujjah dengannya yang tidak didukung oleh nash yang qath’I dari al-Qur’an dan Sunnah. Selain dari yang zhahir tersebut, tidak dapat dijadikan hujjah dalam ushul, meskipun dapat dijadikan hujjah dalam furu’.[41]

Dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara ulama yang membolehkan dan yang menolak penukilan ijma’ dengan khabar ahad berkisar disekitar apakah dalil ashal itu disyaratkan harus qath;I atau tidak. Ulama yang mensyaratkan dalil ashal itu harus qath’I menolak penggunaan khabar ahad dalam penukilan ijma’. Sedangkan ulama yang tidak mensyaratkan dalil ashal itu harus qath’I berpendapat bahwa ijma’ yang dinukilkan secara ahad dapat dijadikan hujjah.

H. IJMA’ KONTEMPORER

Ijma’ kontemporer di sini dimaksudkan adalah kemungkinan terjadi ijma’ dimasa sekarang maupun di masa yang akan datang. Hal ini dimaksudkan bukanlah tanpa adanya suatu alasan yang mendasar. Akan tetapi, hal ini karena suatu alasan yang cukup mendasar yang mempertannyakan kembali keberadaan ijma’ itu sendiri sebagai dalil hukum fiqh atau dasar ajaran agama islam setelah al-Qur’an dan Hadits.

Alasan yang cukup mendasar tersebut adalah bahwa ijma’ sebagai dalil hukum fiqh seolah-olah mati (stagnan) dan tidak akan pernah terjadi lagi, tidak akan pernah ada lagi yang namanya ijma’ di masa sekarang atau masa akan datang. Terlebih lagi bila merujuk pendapatnya para ulama yang mengatakan bahwa ijma’ itu tidak mungkin terjadi lagi. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah dimana esensi dari ijma’ sebagai dalil hukum fiqih itu sendiri, kalau terjadi ijma’ diasumsikan tidak akan pernah terjadi lagi. Padahal permasalahan –permasalahan yang ada dalam kehidupan manusia itu selalu ada dan selalu baru adanya serta berkembang, dan membutuhkan penyelesaian, yang hal ini tidak menuntut kemungkinan dibutuhkan adanya ijma’.

Dalam hal ini bila merujuk pendapatnya Abdul Wahab Khallaf, maka cukup relevan tentang kemungkinan adanya terjadi ijma’ di masa sekarang maupun masa yang akan datang,. Bila pelaksanaan ijma’ ditangani oleh suatu negara bekerjasama dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Setiap negara menerapkan standar tertentu mengenai seseorang yang dapat dinyatakan sebagai mujtahid dan memberikan ijazah terhadap semua yang mencapai derajat itu, sehingga semua mujtahid di dunia ini dapat diketahui.[42]

Terlepas dari pendapatnya para ulama yang mengatakan bahwa ijma’ itu tidak akan pernah atau tidak akan mungkin terjadi di masa sekarang atau masa yang akan datang dengan berbagai alasannya; maka dalam pembahasan ini akan dicoba dianalisis tentang bentuk ijma’ yang kemungkinan terjadi pada masa kini atau pada masa akan datang.

Merujuk pada sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas; maka bila muncul suatu masalah dan membutuhkan penjelasan, dimana masalah tersebut secara jelas tidak ada dalam al-Qur’an dan Haditsmaka, (sesuai dengan hirarkhi dasar hukum Islam tersebut) sebelum menempuh atau mendasarkan penjelasan masalah itu kepada dasar hukum yang keempat, yaitu qiyas, maka dasar hukum Islam yang ketiga yaitu ijma’ haruslah didahulukan.

Ketika muncul suatu permasalahan yang harus dipecahkan dengan ijma’, maka harus di selesaikan dengan ijma’. Permasalahannya adalah bila kita merujuk pada terminologi ijma’ itu sendiri, maka kita dihadapkan pada persoalan yang cukup mendasar, yaitu siapa yang berhak menyandang predikat mujtahid dan bagaimana ijma’ itu akan terjadi bila umat islam sudah tersebar di seluruh jagad raya ini.

Dalam hal ini akan dicoba dianalisis bagaimana bentuk ijma’, siapa-siapa yang berhak disebut sebagai mujtahid dan bagaimana cara mengumpulkan mujtahid itu serta mengetahui pendapat-pendapat mereka tentang suatu masalah.

Bentuk ijma’ yang dibutuhkan sekarang atau nanti di masa mendatang tidak lain adalah tetap mengacu pada ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Karena sudah menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindarkan bahwa ketika muncul suatu permasalahan, pasti disana ada yang setuju, ada yang tidak setuju, dan ada pula menempuh sikap abstain (diam). Dan hal ini bisa berlaku atau terjadi secara nasional maupun internasional.

Secara nasional, di Indonesia misalnya, bilakita menunjuk suatu lembaga yang merupakan perwakilan dari seluruh rakyat Indonesia adalah MPR/DPR (ahu al-halli wa Al-‘aqdi). Sehingga untuk tercapainya ijma’ dalam suatu permasalahan tertentu, maka orang-orang yang ada dimajelis tersebut haruslah orang-orang yang memenuhi persyaratan-persyaratan untuk bisa di sebut sebagai orang islam yang profesional dalam bidangnya masing-masing. Mereka yang duduk di majelis tersebut selain harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh ulama ‘ushul fiqh, juga harus memiliki keahlian dalam bidang-bidang tertentu. Akan tetapi bila sulit untuk menemukan orang yang memenuhi persyaratan tersebut, maka paling tidak dalam majelis itu harus ada beberapa orang yang ‘alim dalam ilmu agama dengan berbagai ilmu-ilmu cabangnya, dan juga harus ada orang yang mahir dalam ilmu-ilmu lainnya, khususnya berkaitan dengan permasalahan yang sedang terjadi. Dengan kata lain, ahli ilmu ushul fiqhnya ada, ahli tafsirnya ada, ahli Haditsnya juga ada, dan ahli-ahli ilmu agama lainnya; demikian juga ketika masalah itu berkaitan dengan bidang kedokteran, maka ahli medis yang profesional harus ada, dan ahli-ahli yang lain yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi ketika itu. Kemudian mereka sepakat menentukan hukumnya atas permasalahan yang terjadi. Demikian juga dengan negara-negara lain di dunia ketika ijma’ itu di berlakukan secara nasional.

Bila ijma’ itu secara internasional, yaitu harus melibatkan seluruh umat islam sedunia, naka cara yang harus ditempuh adalah dengan mengumpulkan seluruh perwakilan-perwakilan dari negara-negara di dunia yang penduduknya muslim (baik itu mayoritas maupun tidak) dalam suatu wadah organisasi atau lembaga internasional. Dimana perwakilan-perwakilan dari negara-negara di dunia itu merupakan perwakilan yang telah ditunjuk oleh negaranya dan merupakan perwakilan dari penduduk atau rakyat suatu negara, yang  tentunya harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam kaitannya dengan sahnya terjadinya ijma’. Kemudian mereka sepakat menentukan hukumnya terhadap suatu permasalahan. Dengan kata lain masalah-masalah yang bersifat mendunia bisa dibahas dalam pertemuan tingkat internasional yang para ahli yang mewakili negara-negara muslim. Mufakat yang dicapai oleh mereka dapat dijadikan ijma’ sementara yang bersifat fungsional. Mufakat tersebut dapat dianggap permanen bila telah dikuatkan oleh masyarakat muslim sedunia.

DAFTAR  PUSTAKA

Ajib Mas’adi, Ghufron, Metodologi pembaharuan hukum islam,Jakarta : PT. Raja Grafindo persada, 1997.

Hasan, Ahmad, The Doctrine of Ijma’ in Islam, penj. Rahmani Astuti, Ijma’, Bandung: Pustaka, 1985.

Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudence, penj. Agah Garnadi, Pintu Ijtihad belum Tertutup, Bandung: Penerbit Pustaka, 1984.

Imam Syafi’I, Ar Risalah, penj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.

Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-fiqh, penj. Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997.

Muslehuddin, Muhammad, Philosophi of Islamic Law and The Orientalist A Comparative Study of Islamic Legal System, penj. Yudian Wahyudi Asmin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997.

Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad Al-Syaukani ; Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta; Logos, 1999.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Syihab, Umar, Hukum Islan dan Transformasi Pemikiran, Semarang: Dina Utama Semarang, 1996.


[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid I (Jakarta : Logos Wacana Ilmu , 1997), h. 112.

[2] Ibid, h. 113-115; Ahmad Hasan, The Doctrine of Ijma’ in Islam, penj. Rahmani Astuti, (Bandung:Pustaka, 1985), hh.81-92.

[3] Ghufron A. Mas’adi,  Metodologi pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 141.

[4] Amir Syarifuddin, Ushul, h. 116-117; Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani; Relevansinya bagi pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999),h. 129.

[5] Amir Syarifuddin, Ushul, h. 117

[6] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-fiqh, penj. Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risal;ah Pres, 1997), h. 89.

[7] Umar  Shihab,Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1996) h. 24.

[8] Amir Syarifuddin, Ushul, h. 120

[9] Ibid, h. 121.

[10] Ibid.

[11] Muhammad  Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalist A Comparative Study of Islamic Legal System,  penj. Yudian Wahyudi Asmin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 117.

[12] Umar  Syihab, Hukum, h. 24-25; Ahmad Hasan, The Early Develpoment of Islamic Jurisprudence, terj. Bandung: Penerbit Pustaka, 1984, h. 145.

[13] Amir Syarifuddin, Ushul,h. 122.

[14] Ibid, h. 122-123.

[15] Ibid, h. 123

[16] Ahmad Hasan, The Early, h. 145; Amir Syarifuddin, Ushul , h. 124.

[17] Ibid, h. 125

[18] Ibid, h. 127

[19] Ibid.

[20] Ibid, h. 128

[21] Ibid.

[22] Ibid, h. 129.

[23] Ibid, h. 129-130.

[24] Ibid, h. 130.

[25] Ibid. h.131

[26] imam Syafi’i, Ar-Risalah,penj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 223-224.

[27] Amir Syarifuddin,Ushul,h.131.

[28] Ibid,h. 132.

[29] Ibid.

[30] Ibid,h.133.

[31] Ibid,

[32] Muhammad  Muslehuddin, pilosophy, h. 118.

[33] Amir Syarifuddin, ushul ,h.134.

[34] Umar  Shihab, hukum, h . 24;Amir Syarifuddin, Ushul, h. 135-137

[35] Ibid,h. 138.

[36] Ibid, h. 139

[37] Ibid,

[38] Ibid, h. 140.

[39] Ibid,h. 141

[40] Idid

[41] Ibid, h. 142.

[42] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-fiqh, h. 89.