LANDASAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

 

  1. I.       Pendahuluan

Hukum Islam yang merupakan pokok ajaran perilaku manusia, ternyata mempunyai sifat yang realstis, fleksibel dan simple, sehingga hukum Islam itu dinamis dalam menjawab dinamisasi budaya dan kepentingan ummat manusia.

Dasar hukum Islam yang telah disepakati oleh jumhur fuqohā’ yaitu al-qur’ān ,al-sunnah , al-ijmā’, dan al-qiyaŝ sedangkan yang masih diperselisihkan yaitu al-istishab, al-istihsan, al-mashalih al-mursalah, saddudz dzara’i . al-urf, mazhab al- shahabi , shar’u man qablana, dilalah al-iqtiran. Istilah itu mnucul karena al-Qur’ān dan al-Hadith sebagai sumber ajaran Islam ternyata tidak sepenuhnya mampu mengakomodasi persoalan-persoalan waqi’iyah yang muncul dikemudian hari. Prinsip-prinsip ajaran yang paling dasar telah disinggung oleh Al-Qur’ān . Sedangkan al-Hadith sebagai sumber hukum yang kedua , lebih cenderung sebagai bayān, menjelaskan persoalan lebih rinci. Meskipun demikian Hadith tidak selamanya mampu menjawab persoalan-persoalan yang muncul belakangan. Oleh karena itu penelitian dan reformasi merupakan hal yang sangat perlu dalam rangka menghasilkan produk-produk hukum yang sesuai dengan waktu dan tempat serta kondisi saat ini. Oleh sebab itu istihsan merupakan salah satu ketentuan yang diturunkan Allah untuk mengatur perilaku manusia, sehingga mencaai kemaslahatan sebagai tujuan pensyari’atan suatu hukum.    

  1. II.    Pembahasan
    1. A.                Pengertian Istihsan

Secara etimologi istihsan berasal dari fi’il madhi استحشن – يستحسن – استحسانا : menganggap sesuatu itu baik. [1]

Menurut kamus Hasn Wehr adalah opproval, application of descetion in a legal decision (Persetujuan, penerapan atas kebijakan/ kekuasaan dalam keputusan yang sah[2] atau mempertimbangkan sesuatu dan meyakininya sebagai suatu kebaikan.[3]

Adapun secara terminology ;

الاستحسان هو ترك القياس والعمل بما هو اقوى منه لدليل يقتضي ذلك وفقا لمصلحة الناس

Istihsan berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang meghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan ummat manusia[4] atau meninggalkan qiyas jali (analogi yang jelas ) dan mengamalkan qiyās khafi (analogi yang samar ) / meninggalkan hukum yang umum (kulli) dan mengamalkan yang khusus (juz’i) karena ada dalil yang lebih kuat dalam mewujudkan tujuan hukum.[5]

Untuk memudahkan pengertian Istihsan menurut ulama’ ushul seperti yang diatas , perlulah dikemukakan beberapa contoh anatara lain :

  1. Menurut ulama’ Hanafiyah wanita sedang haid haram membaca al-Qur’ān berdasarkan Qiyās dan boleh berdasarkan istihsan. Qiyās (qiyās jali/terang): wanita yang sedang haid diqiyaskan kepada orang junub , dengan illat sama-sama tidak suci . orang yang junub haram membaca al-Qur’ān, demikian pula wanita yang sedang haid. Istihsan (Qiyās khafi/ samar-samar) : wanita yang sedang haid berbeda dengan orang yang sedang junub . Haid itu waktunya lama, karena itu diperbolehkan membaca al-Qurān, kalau sama haid yang panjang itu si wanita tidak dapat memperoleh pahala ibadah apapun, sedang orang laki-laki dapat beribadat setiap hari.
  2. Shara’ (hukum kulli) melarang melihat aurat seseorang berdasarkan istihsan diperbolehkan melihat aurat seseorang dalam pengobatan. Alasannya mengamalkan hukum yang juz’i  bagi manusia untuk mencari kemudahan dalam penerapan hukum.
  3. B.                 Macam – Macam Istihsan

Ulama’ Hanafiyah membagi istihsan kepada enam macam, yaitu istihsan dengan nash, istihsan dengan ijma’, istihsan dengan darurat , istihsan dengan kias khafi , istihsan dengan urf, istihsan dengan maslahah.[6]

  1. Istihsan dengan nas

seperti berpalingnya mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh nas. Karena memang ada masalah-masalah atau peristiwa yang termasuk atau tercakup dalam salah satu kaidah dari kaidah-kaidah umum. Namun terhadap masalah atau peristiwa itu ditemui dalil khusus yang menghendaki pengecualian terhadap masalah tersebut dan menetapkan hukum yang lain dari pada hukum yang dapat ditarik dari kaidah umum.

Misalnya dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum atau kias wasiat itu tidak boleh., karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi kaidah umum ini dikecualikan melalui firman Allah dalam surat an-Nisa’ : 11

من بعد وصية او دين ……….

” Setelah mengeluarkan wasiat yang lain ia buat atau hutang… “

  1. Isthsan dengan Ijma’

Istihsan dengan ijma’ berarti meninggalkan kias, baik kias asal (kias ushuli) maupun kaidah umum yang diistimbatkan,[7] ditetapkan oleh kias ini. Misalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu berapa lama orang itu dan berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan bagi banyak orang. Oleh sebab itu, para ulama’ sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum, sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang terpakai.

  1. Istihsan dengan Darurat

Bila kias menghendaki suatu hukum terhadap suatu peristiwa, akan tetapi disana fuqaha’ menemukan darurat yang menghendaki ditetapkannya hukum lain yang berbeda dengan hukum kita,[8] maka penetapan hukum seperti itu dinamakan istihsan dengan darurat.

Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum, sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan air dari sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air, sulit dikeringkan. Akan tetapi ulama Hanafiyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukkan beberapa galon air kedalam sumur itu, karena keadaan darurat menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan lainnya.

  1. Istihsan dengan kias khafi

Istihsan berdasarkan kias yang bersembunyi. Misalnya, dalam masalah wakaf lahan pertanian, menurut ketentuan jenis jail, wakaf ini sama dengan jual beli, karena pemilik lahan tersebut menggugurkan hak miliknya dengan memindahtangankan hak tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau hak orang lain untuk mengalirkan air kelahan pertaniannya melalui tanah tersebut tidak termasuk dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan akad. Menurut kias khafi wakaf itu sama dengan sewa menyewa, karena maksud dari wakaf adalah memanfaatkan lahan pertanian yang diwakafkan. Dengan wasiat ini, maka seluruh hak orang lain yang telah ada dilahan pertanian tersebut, seperti hak melewati lahan pertanian itu atau hak mengalirkan air diatas lahan pertanian lahan tersebut, termasuk kendala akad wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad. Apabila seorang mujtahid mengambil hukum kedua kias khafi, maka ia disebut berdalil dengan istihsan.

  1. Istihsan dengan Urf

Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum. Contohnya sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijma’, yaitu dalam masalah pemandian umum yang tidak ditentukan banyak air dan lama pemandian itu digunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan jumlah air yang terpakai.

  1. Istihsan dengan Maslahah

Istihsan berdasarkan kemaslahatan. Misalnya, ketentuan umum menetapkan bahwa buruh disuatu pabrik tidak bertanggungjawab atas kerusakan hasil komuditi yang diproduk pabrik tersebut, kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka, karena mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah. Akan tetapi, demi kemaslahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap bertanggung jawab para buruh sulitnya mempercayai sebagaian pekerja pabrik dalam masalah keamanan produk, maka ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus bertanggung jawab atas kerusakan setiap produk pabrik itu, baik disengaja maupun tidak.

  1. C.                Perdebatan Istihsan di Kalangan Fuqoha’

Terdapat perbedaan pendapat ulama’ ushul fiqh menetapkan istihsan sebagai salah satu model / dalil dalam menetapkan hukum shara’. Menurut ulama’ Hanafiyah dan sebagaian ulama’ Hanabilah.[9] Istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum shara’ . Alasan yang mereka kemukakan dari al-Qur’ān dan al-sunnah.

  • Al – Qur’ān,39:18 dan 55

اللذين بتبعون القول فيتبعون أحسنه أولئك الذين هداهم الله وأولئك هم أولو الالباب

” Mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itula orang-orang yang mempunyai akal.”

  • As-Sunnah yang dijadikan dalil adalah :

ماراه المسلمون خيرا فهو عند الله حسن

” Apa yang diandanp baik oleh kaum Muslimin , maka hal itu juga baik di sisi Allah “[10]

Adapun kelompok yang mengakui eksistensi istihsan antara lain Abu al-Hasan al-Kharkhi, menurutnya sebagaimana dikutip Abu Zahro, istihsan adalah berpalingnya seorang Mujtahid dari suatu hukum terhadap suatu masalah yang sebanding dengannya kepada hukum yang lain, karena ada suatu pertimbangan yang lebih utama (kuat) yang menghendaki perpalingan.[11] Apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat memberikan hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan ummat manusia. Sebagai contoh masalah-masalah actual yang terjadi belakang ini, bursa saham, pencangkokan organ tubuh, dan cloning merupkan kemajuan teknologi dalam bidang medis. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kedokteran telah memungkinkan dilakukan pencangkokan kornea mata si mayat kepada orang buta yang sangat membutuhkan agar ia dapat melihat sebagaimana orang normal lainnya. Apakah dalam hal ini Islam menutup mata terhadap kemajuan dalam bidang medis ini. Metode istihsan bil-al maslahah dalam kajian ini membuka ruang keleluasaan dan elastisiatas hukum Islam menuju diperbolehkannya pencangkokan kornea mata.

Memang dalam ajaran Islam[12] bahwa memuliakan anggota badan si mayat merupakan masalah tahsiniyat yang tidak peru dipertahankan bila dengan mempertahankan maslahat tahsiniyat itu dapat menyebabkan lenyapnya maslahat yang lebih utama yaitu maslahat hajiyat atau daruriyat. Sedang pembolehan pencangkokan kornea mata si mayat kepada orang buta bertujuan untuk memelihara maslahat hajiyat.

Dengan demikian larangan memotong atau mengambil anggota badan si mayit dikalahkan oleh keentingan lain yang lebih besar yaitu kemaslahatan orang-orang yang masih hidup yang sangat memerlukan korne mata agar mereka bisa hidup sempurna.

Dalam hal ini Imam imam al-Shatibi menyatakan bahwa kaidah istihsan merupakan hasil induksi dari berbagai ayat dan hadith yang secara keseluruhan menunjukkan secara pasti bahwa kiadah ini didukung oleh shara’.[13]

Sedang kelompok ulama’ yang menolak istihsan sebagai metode istimbat hukum adalah imam Shafi’i sebagaimana dikutip oleh Hudari Baik. من استحسن فقد شرع “Barangsiapa yang melakukan istihsan, maka ia telah membuat-buat hukum dengan keinginannya”[14]. Sedangkan dalam madzhab Hambali tidak dikenal terminologi istihsan, namun ia juga tidak menolak istihsan yang dilakukan oleh Hanafi dan Maliki.

Di antara para ulama’ lain yang juga menolak istihsan adalah keompok Dhohiriyah, Mu’tazilahdan ulama’ Syi’ah. Ibnu Hazm dari kelompok Dhohiriyah mengatakan sesuatu yang haq (benar) adalah haq meskipun manusia menjelekkanya, dan yang baik adalah baik meskipun manusia menganggapnya jelek. Oleh karenanya metode istihsan mengikuti hawa nfsu dan kedholiman[15]. Namun hal demikian dibantah oleh mazhab Maliki, orang yang menggunkan istihsan tidak berarti semata-mata menggunakan perasaan dan keinginannya yang subyektif, tetapai berdasarkan pada tujuan (maqasid) shara’ . karena jika qiyas yang digunakan maka tujuan Islam menurunkan hukum tidak akan tercapai.[16]

Harun Nasution[17] memberi komentar atas penolakan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i terhadap istihsan disebabkan karena pengikut-pengikut Abu Hanifah tidak mampu menjelaskan apa yang dimaksud dengan istihsan itu. Daam diskusi tersebut pengikut Abu Hanifah cenderung diam karena tidak mampu menjawab. Boleh jadi orang yang mengikuti diskusi pada waktu itu adalah orang yang taqlid kepada Abu Hanifah.

Sedangkan para fuqaha’ yang menolak istihsan sebagai metode istimbath hukum menampilkan argumentasi yang disimpulkan sebagai berikut [18]:

  1. Penetapan hukum semata-mata karena harus didasarkan pada nash atau diqiyaskan kepada nash, sedang istihsan berdasarkan pada hawa nafsu.
  2. Nabi Muhammad SAW tidak pernah berfatwa dengan istihsan, tetapi ia menunggu sampai wahyu datang
  3. Pondasi istihsan adalah akal. Sehingga setiap orang berpegang untuk membuat hukum baru
  4. Iatihsan tidak memiliki batasan yang jelas, criteria-criteria yang dapat dijadikan ukuran untuk membedakan antara yang benar dan yang batal seperti qiyas
  5. Seandainya istihsan boleh oleh mujtahid tanpa berpegang pada nash, hanya berpegang pada kemampuan akal semata niscaya orang yang tidak mengerti al-Qur’ān dan Hadith boleh menetapkan hukum dengan metode istihsan.

Dari peristiwa-peristiwa yang ada seperti disebut diatas, penulis berkesimpulan bahwa terjadinya penolakan terhadap istihsan terutama yang dilakukan oleh Imam Syafi’i disebabkan karena perbedaan tinjauan terhadap pengertian istihsan itu sendiri. Dan jangan beranjak dahulu, marilah perhatikan perbedaan pemahaman terhadap pengertia istihsan.

  1. Menurut Sharkazi, istihsan pada hakikatnya adalah dua kias. Yang pertama jali (jelas) tetapi dhaif pengaruhnya., yang disebut dengan kias, sedangkan yang kedua khafi tapi kuat pengaruhnya yang disebut dengan istihsan[19]. Jadi berpindahnya seorang Mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh kias khafi adalah istihsan ( menurut golongan Hanafiyah )
  2. Ibnu Al-Arabi berpendapat bahwa istihsan menurut ushul fiqh Maliki adalah meninggalkan kehendak dalil dengan cara pengecualian atau memberi rukhsoh karena berbedanya hukumnya dalam beberapa hal.

Dari pengertian di atas maka istihsan dan maslahah wa al -mursalah tidak ada perbedaan, begitu pula menurut al-Shafi’i[20] sedang menurut jumhur Malikiyah istihsan dan maslahah wa al-Mursalah itu tidak ada perbedaan . istihsan menyangkut pada obyek masalah yang semula tunduk pada dalil kias tetapi kemudian istihsan datang menggantikannya., sedangkan masalah al-Mursalah memang sedari awaknya sudah menjadi dalil terhadap masalah-masalah yang berada dalam lingkupnya dalam arti tidak ada dalil yang lain.

  1. Menurut pandangan imam shafi’i, istihsan tidak berdasarkan Al-Qur’an Hadith, Ijma’, Kias, jika hanya berdasarkan hawa nafsunya, haram hukumnya. Beliau berpendapat demikian, menurut penulis karena ada istihsan yang masih ditolelir antara lain seperti istihsan sunnah. Hadith tentang sahnya puasa bagi orang yang makan dan minum disiang hari pada bulan Ramdha karena lupa. Padahal menurut Kias dikiaskan pada orang yang tidak lupa puasa mestinya batal, akan tetapi karena terdapat hadith yang menetapkan sah puasanya tersebut, maka golongan Hanafi meninggalkan kias dalam masalah puasa tersebut, yang penetapan hukumnya disebut isthsan karena mentahsiskan dan menggugurkan illatnya, tetapi menurut imam Shafi’i apabila illat shara’ sudah jelas tidak boleh ditahsis.

Muhammad Abu Zahra menilai  alasan Imam al-Shafi’i atas kehujjahan istihsan diatas tidak bersifat menyeluruh kepada seluruh bentuk istihsan yang dikemukakan ulama Hanafiyah dan Malikiyah. Alasan-alasan itu, menurutnyam hanya berlaku bagi istihsan yang didasarkan atas urf dan maslahah al-mursalah. Hal ini sejalan dengan prinsip ulama’ Shafi’iyah yang menolak keberadaan urf dan maslahah al-mursalah sebagai dalil apabila tidak didukung oleh nash. Sedangkan untuk istihsan yang didasarkan pada nash, ijma’ dan yang didasarkan atas keadaan dharurah, alasan-alasan yang dikemukakan oleh imam al-Shafi’i diatas tidak tepat dan tidak berlaku, karena istihsan seperti ini tidak terlepas dari nash dan ijma’, serta tidak terlepas dari kaidah qiyas.

Sekalipun konsep istihsan yang pertama kali dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah kurang rinci dan jelas, sehingga mendapat tanggapan keras dari imam al-Shafi’i , yang mengangap bahwa istihsan yang shara’ sendiri, namun konsep istihsan oleh murid-murid dan pengikut Abu Hanifah lebih disempurnakan, diperjelas, dan dirinci secara sistematis. Berdasarkan konsep yang sudah disempurnakan ini, ulama’ Malikiyah dan sebagaian ulama’ Hanbilah pun menrrima istihsan sebagai salah satu metode dalam mengistimbatkan hukum.

Bahkan Imam al-Ghazali[21] membahas istihsan menyatakan bahwa perpalingan dari kehendak kias kepada dalil lain tersebut, disepakati oleh seluruh ulama’ namun perpalingan itu dinamakan istihsan. Artinya, secara konsep apa yang dinamakan istihsan itu diterima oleh imam al-Ghzali, tetapi penamaan konsep itu dengan isthsan tidak diterimanya, karena pemakaian istilah istilah tersebut cenderung mengacu kepada memnuat-buat shara’ sendiri.

Abdul Wahab Khalaf[22] mengatakan bahwa perbedaan pendapat diklangan ulama’ ushul fiqh dalam menerima atau menolak istihsan sebagai salah satu dalil shara’ maka akan dijumpai bahwa perbedaan tersebut hanyalah perbedaan istilah. Para ulama’ yang menolak keberadaan istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum, ternyata dalam praktiknya berpendapat sama dengan ulama’ yang menerima kehujjahan istihsan.

Jadi terjadinya perdebatan antara metode istihsan hanyalah karena persoalan istilah (al-khilaf al-lafdhiy) sedang eksistensinya telah membuktikan bahwa istihsan sebagai metode hukum adalah sebuah tuntutan zaman, karena istihsan merupakan sarana yang fleksibel dan elastis dalam mengantisipasi perkembangan zaman, terutama masalah-masalah yang baru terakomodir penjelasannya dalam al- Qur’an maupun kitab klasik.

  1. III.             Kesimpulan

Iatihsan sebagai metode istimbat hukum mempunyai peran dari ruang lingkup luas di dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum terutama kajian persoalan modern. Terjadinya polemik pro dan kontra terhadap metode istihsan hanyalah persoalan istilah (al-khilaf al-lafdhy) . Adapun istihsan dengan segala bentuk dan macamnya berpeluang besar dalam istimbat hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Bik, Muhammad Hudari, Ushul al-Fiqh, Beirut : Dar al-fikr,1977.

Al- Ghazali, Abu Hamid, al-Mankul min Ta’liqat a;-Ushul, Bairut : Dar al- Fikr,1980.

Hanbal, Ahmad Ibn, Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal, Jil, I, Kairo : Dar Sadik,tt.

Haroen, Nasrun,Ushul Fiqh I, Jakarta : Logos Publihing House,1996.

Al- Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul al-Fiqh, Kairo, maktabah al – Da’wah al – Islamiyah, 1947.

______________________, Mashadir at-Tasyri’ al-Islami fima la Nashfih,Kuwait, Dar al-Qalam.1972.

Mandhur,Libn, Lisan al – Lisan Tahdzib Lisan al-Arab, Juz I, Beirut : Dar al- Kutub al – Ilmiyah,1993.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,Jil.2, Jakarta :UI Press,tt.

Al – Sarkhasi, Ushul al – Sarkhsi , Juz 2, Beirut : Dar al – Kutub al – Ilmiyah,1993.

Al – Shatibi, Abu Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushul al- Shari’ah, Juz 4, Beirut : Dar al-Ma’rifat,1975.

Wehr,Hasan,Dictionary of Modern Written Arabic,London : Mac Donald Evan, Third Prinitng,1980.

Zahroh, Muhammad Abu, Ushul al – Fiqh, Beirut : Dar al- Fikr,tt.

Al- Zuhayli, Wahbah, Ushul al – fiqh al- Islam,Juz 2, Beirut : Dar al- Fikr,1986.  


[1]  Ibnu Mandhur, Lisan al – Lisan Tahdzib Lisan al – Arab, Juz I (Beirut : Dar al – kutub al – Ilmiah ,1993), 258.

[2]  Hasan Webr, Dictinary of Modern Written Arabic ( London: Mac Donald Evan Ltd., Third Printing, 1980), 178.

[3]  Wahbah a- – Zuhayli, Ushul al – Fiqh al – Islami, Juz 2 ( Beirut : Dar al – Fikr ,1986), 736.

[4]  Al – Sarakhsi, Ushul al – Sarakhsi, Juz 2 ( Beirut : Dar al – kutub al – Ilmiyah, 1993),200.

[5]  Ensklopedi Islam, Jilid 2 ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), 277.

[6]  Abi Ishaq al – Shatibi, al – Muwafaqat fi Ushul al – Shari’ah , Vol 4, ( Beirut : Dari al – Ma’rifah,1975), 207. lihat juga al – Zuhaili, Ushul……, 743 – 746

[7] Kaidah umum yang diistimbatkan ialah kaidah yang bukan ditetapkan

[8]Yang dimaksud dengan kias disini bukanlah kias ushuli, akan tetapi hukum dasar atau kaidah umum, baik hukum dasar itu merupakan kaidah umum yang ditetapkan oleh nas maupun kaidah umum yang ditetapkan oleh ijtihad. Kias ushuli yaitu menghubungkan masalah cabang kepada masalah asal karena keduanya memiliki persamaan pada illat hukum. Lihat Abdul Wahab al- Khallaf, Mashadir at – Tashri’ al – Islami Fimala Nas Fih, ( Kuwait: Dar al – Qalam,1972),80

[9]  Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I ( Jakarta : Logos Publishing House, 1996), 108.

[10] Ahmad ibnu hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal, jil. I (Kairo:Dar Sadiq,tt), 379.

[11]  Muhammad Abu Zahroh, Ushulal- Fiqh, (Beirut: Dar al – Fikr,tt),262.

[12]  al – Shatibi, al – Muwafaqat fi Ushul al Shari’ah,262.

[13]  Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, 109.

[14]  Muhammad Hudhari Bik, Ushulal – fiqh, ( Beirut : Dar al-Fikr,1977),344 . Lihat juga al – Zuhaily, op. Cit., 748-749.

[15]  Al – Zuhaily, Ushul….., 749

[16] Ensklopedi Is;am, Loc. Cit

[17] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 2 ( Jakarta : UI Prees,tt),17.

[18]  Lihat Muhammad Abu Zahro, Ushul …,271.

[19]  Ibid, 264

[20]  Ibid, 404

[21]  Abu Hamid Al – Ghazali, Mankhul min Ta’liqat al-Ushul,( Beirut : Dar al – fikr, 1980), 274-777

[22]  Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul fil fiqh (Kairo: Maktabah al – Da’wahal-islamiyah,1974), 83